Kurikulum adalah elemen fundamental dalam dunia pendidikan yang dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran dan pengembangan potensi peserta didik. Namun, di banyak negara, termasuk Indonesia, kurikulum sering kali menjadi arena tarik-menarik antara kepentingan politik dan kebutuhan dunia pendidikan. Fenomena ini memunculkan tantangan besar dalam menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar efektif dan relevan.
Keterlibatan politik dalam penyusunan kurikulum sering kali tidak dapat dihindari karena kurikulum adalah bagian dari kebijakan publik yang ditentukan oleh pemerintah. Sebagai produk politik, kurikulum sering kali mencerminkan visi dan misi rezim yang sedang berkuasa. Hal ini tidak selalu buruk, tetapi menjadi problematik ketika perubahan kurikulum lebih didorong oleh kepentingan politik jangka pendek dibandingkan kebutuhan pendidikan jangka panjang.
Pergantian menteri atau pemerintahan biasanya disertai dengan perubahan kebijakan kurikulum. Setiap menteri ingin meninggalkan jejak atau warisan kebijakan, yang sering kali mengarah pada revisi kurikulum. Akibatnya, guru, siswa, dan sistem pendidikan secara keseluruhan harus terus beradaptasi dengan kebijakan baru. Ketidakstabilan ini berdampak pada kualitas pendidikan yang seharusnya bertumpu pada konsistensi dan keberlanjutan.
Politik kurikulum juga sering kali mengabaikan suara dan kebutuhan para pemangku kepentingan di lapangan, terutama guru. Sebagai pelaksana utama kurikulum, guru jarang dilibatkan dalam proses penyusunan. Akibatnya, kurikulum yang dihasilkan sering kali tidak aplikatif dan menyulitkan guru dalam implementasinya. Ini menciptakan jurang antara kebijakan di tingkat pusat dan realitas di ruang kelas.
Di sisi lain, kebutuhan dunia pendidikan terus berkembang, terutama dengan munculnya tantangan global seperti perkembangan teknologi, perubahan iklim, dan dinamika pasar kerja. Kurikulum harus mampu mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan ini dengan memberikan keterampilan yang relevan. Sayangnya, fokus politik sering kali mengalihkan perhatian dari kebutuhan mendesak ini.
Kebutuhan dunia pendidikan juga menuntut kurikulum yang fleksibel dan adaptif. Kurikulum harus memberikan ruang bagi pengembangan potensi individu dan kebutuhan lokal, seperti mengintegrasikan budaya daerah atau kearifan lokal ke dalam pembelajaran. Namun, tekanan politik untuk menyeragamkan kurikulum sering kali menghambat fleksibilitas ini.
Salah satu dampak buruk dari politik kurikulum adalah pemborosan sumber daya. Setiap perubahan kurikulum memerlukan biaya besar untuk pelatihan guru, pengadaan buku pelajaran, dan sosialisasi kebijakan baru. Padahal, banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti fasilitas belajar yang memadai.
Politik kurikulum juga sering kali melupakan esensi pendidikan, yaitu membentuk individu yang berkarakter, kritis, dan kreatif. Alih-alih berfokus pada pengembangan kompetensi siswa, politik kurikulum sering kali hanya menonjolkan capaian angka atau statistik yang dapat digunakan sebagai alat legitimasi politik. Hal ini menciptakan sistem pendidikan yang cenderung pragmatis dan tidak berorientasi pada kualitas.
Untuk mengatasi tarik-menarik antara politik dan kebutuhan pendidikan, diperlukan reformasi dalam proses penyusunan kurikulum. Penyusunan kurikulum harus dilakukan secara transparan dan melibatkan berbagai pihak, termasuk guru, akademisi, praktisi pendidikan, dan masyarakat. Pendekatan partisipatif ini akan menghasilkan kurikulum yang lebih relevan dan aplikatif.
Selain itu, perlu ada kebijakan pendidikan yang berkelanjutan dan tidak terlalu terpengaruh oleh pergantian rezim politik. Kurikulum harus dirancang dengan visi jangka panjang yang berorientasi pada kebutuhan masa depan, bukan sekadar memenuhi agenda politik sesaat. Stabilitas ini penting untuk memberikan ruang bagi sistem pendidikan untuk berkembang secara konsisten.
Evaluasi terhadap kurikulum juga harus dilakukan secara obyektif dan berdasarkan data. Proses evaluasi ini harus melihat dampak kurikulum terhadap pembelajaran di lapangan, bukan hanya berdasarkan indikator administratif. Dengan evaluasi yang obyektif, revisi kurikulum dapat dilakukan secara tepat sasaran tanpa perlu mengganti keseluruhan kerangka.
Teknologi dapat menjadi alat yang efektif untuk menjembatani kebutuhan dunia pendidikan dengan tantangan politik kurikulum. Teknologi memungkinkan penyusunan kurikulum yang lebih fleksibel, personalisasi pembelajaran, dan akses informasi yang lebih luas. Namun, pemanfaatan teknologi juga membutuhkan komitmen politik untuk mendukung infrastruktur digital yang merata.
Kerja sama antara pemerintah, pendidik, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan dunia pendidikan. Semua pihak harus menyadari bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang yang tidak boleh dikorbankan demi kepentingan politik sesaat. Hanya dengan sinergi ini, sistem pendidikan dapat berkembang secara optimal.
Pada akhirnya, politik kurikulum tidak dapat sepenuhnya dihilangkan, tetapi dapat diarahkan agar selaras dengan kebutuhan dunia pendidikan. Dengan mengedepankan visi jangka panjang, partisipasi semua pihak, dan keberlanjutan kebijakan, kurikulum dapat menjadi alat yang efektif untuk menciptakan generasi yang tangguh, kreatif, dan berdaya saing di tengah dinamika global (***)
Posting Komentar